Gibran Cawapres, Pengamat Bilang Manuver dan Kalkulasi Jokowi Tepat Sasaran
JAKARTA - Gibran Rakabuming Raka Calon wakil presiden (Cawapres) mendampingi calon presiden Prabowo Subianto sempat menjadi momok di Indonesia.
Di mana Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara terkait usia minimal calon presiden (Capres) dan Cawapres dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Senin (16/10/2023) lalu.
Dalam sidang tersebut, MMK membolehkan seseorang yang berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Terkait hal itu, Prof Vedi Hadiz seorang ahli ilmu ekonomi politik University Of Melbourne mengatakan upaya Presiden Jokowi yang memajukan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka untuk turut serta dalam Pilpres 2024 merupakan manuver politik yang sangat jitu dan tepat sasaran.
Sebab, katanya dikutip dari nusantaraterkini.co pada Minggu (19/11/2023) meski praktik yang disebut melanggengkan dinasti politik itu diprotes oleh masyarakat luas, suara untuk pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming tidak lantas melemah hebat.
"Menurut saya itu adalah manuver politik yang cukup jitu. Ternyata kalkulasi politik dia (Jokowi) tidak keliru, walaupun ada bagian dari masyarakat yang memprotes dan menurut saya dengan sangat beralasan memprotes karena UU harus diubah untuk memungkinkan ini," kata Vedi Hadiz dalam program ROSI Kompas TV, dikutip Jumat (17/11/2023).
"Kenyataannya suara dari pasangan tersebut ternyata tidak mengalami kerugian sama sekali bahkan," ucap dia.
Di sisi lain, ia tidak memungkiri, praktik nepotisme maupun penyalahgunaan kekuasaan membuat publik tidak merasa nyaman.
Namun, menurut Vedi, praktik pelanggaran etik, politik dinasti, hingga nepotisme hanya bersirkulasi di kalangan para elite. Masyarakat pun, kata dia, seolah sudah terbiasa dengan praktik tersebut di tingkat lokal.
Misalnya, ketika kepala desa dijabat secara turun-temurun oleh satu keluarga. Dengan begitu, praktik serupa di tingkat nasional tidak lantas membuat suara menurun.
"Jadi buat masyarakat bawah, pelanggaran seperti ini, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, pun di tingkat sehari-hari, di tingkat lokal, di tingkat pengalaman hidup mereka yang nyata, itu selalu ditemui. Itu adalah bagian dari kenyataan hidup mereka sehari-hari," pungkasnya. (*)
Sumber Nusantaraterkini.co
JAKARTA - Gibran Rakabuming Raka Calon wakil presiden (Cawapres) mendampingi calon presiden Prabowo Subianto sempat menjadi momok di Indonesia.
Di mana Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara terkait usia minimal calon presiden (Capres) dan Cawapres dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Senin (16/10/2023) lalu.
Dalam sidang tersebut, MMK membolehkan seseorang yang berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Terkait hal itu, Prof Vedi Hadiz seorang ahli ilmu ekonomi politik University Of Melbourne mengatakan upaya Presiden Jokowi yang memajukan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka untuk turut serta dalam Pilpres 2024 merupakan manuver politik yang sangat jitu dan tepat sasaran.
Sebab, katanya dikutip dari nusantaraterkini.co pada Minggu (19/11/2023) meski praktik yang disebut melanggengkan dinasti politik itu diprotes oleh masyarakat luas, suara untuk pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming tidak lantas melemah hebat.
"Menurut saya itu adalah manuver politik yang cukup jitu. Ternyata kalkulasi politik dia (Jokowi) tidak keliru, walaupun ada bagian dari masyarakat yang memprotes dan menurut saya dengan sangat beralasan memprotes karena UU harus diubah untuk memungkinkan ini," kata Vedi Hadiz dalam program ROSI Kompas TV, dikutip Jumat (17/11/2023).
"Kenyataannya suara dari pasangan tersebut ternyata tidak mengalami kerugian sama sekali bahkan," ucap dia.
Di sisi lain, ia tidak memungkiri, praktik nepotisme maupun penyalahgunaan kekuasaan membuat publik tidak merasa nyaman.
Namun, menurut Vedi, praktik pelanggaran etik, politik dinasti, hingga nepotisme hanya bersirkulasi di kalangan para elite. Masyarakat pun, kata dia, seolah sudah terbiasa dengan praktik tersebut di tingkat lokal.
Misalnya, ketika kepala desa dijabat secara turun-temurun oleh satu keluarga. Dengan begitu, praktik serupa di tingkat nasional tidak lantas membuat suara menurun.
"Jadi buat masyarakat bawah, pelanggaran seperti ini, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, pun di tingkat sehari-hari, di tingkat lokal, di tingkat pengalaman hidup mereka yang nyata, itu selalu ditemui. Itu adalah bagian dari kenyataan hidup mereka sehari-hari," pungkasnya. (*)
Sumber Nusantaraterkini.co